Demo Blog

Mampu atau tidak "bersekolah" ???

by BATAGOR Ci-Tel on Nov.22, 2009, under


Putus sekolah (dikenal dalam bahasa Inggris dikenal dengan Drop Out) adalah proses berhentinya siswa secara terpaksa dari suatu lembaga pendidikan tempat dia belajar. Anak Putus sekolah yang dimaksud disini adalah terlantarnya anak dari sebuah lembaga pendidikan formal, yang disebabkan oleh berbagai faktor-faktor.

Faktor putus sekolah itu ternyata bermacam-macam, baik internal maupun eksternal dari diri siswa sendiri. Aspek internalnya, yaitu (psikologis dari anaknya itu sendiri) tidak ada keinginan atau motivasi untuk melanjutkan sekolah dalam diri anak. Lalu penyebab eksternalnya adalah selain faktor ekonomi orang tua yang tidak memungkinkan melanjutkan sekolah anak-anaknya (persoalan ekonomi, sosiokultural, dan letak geografis yang sulit). Seperti kondisi keluarga anak yang perhatian orang tuanya kurang juga merupakan penyebab kasus anak putus sekolah.
Pada perspektif lain, Faktor ketidak mampuan membiayai sekolah atau faktor ekonomi menjadi faktor penyebab yang paling dominan penyebabnya anak putus sekolah. Kenyataan itu dibuktikan dengan tingginya angka rakyat miskin yang anaknya tidak bersekolah atau putus sekolah karena tidak ada biaya.
Seharusnya orang tua tidak boleh menyerah dan tetap memperhatikan anak-anaknya. Karena anak merupakan amanah dari Allah SWT, seorang anak dilahirkan dalam keadaan fitrah tanpa noda dan dosa, laksana sehelai kain putih yang belum mempunyai motif dan warna. Oleh karena itu, orang tualah yang akan memberikan warna terhadap kain putih tersebut; hitam, biru hijau bahkan bercampur banyak warna.

Setiap orang tua menginginkan anak-anaknya cerdas, berwawasan luas dan bertingkah laku baik, berkata sopan dan kelak suatu hari anak-anak mereka bernasib lebih baik dari mereka, baik dari aspek kedewasaan pikiran maupun kondisi ekonomi. Oleh karena itu, di setiap benak para orang tua bercita-cita menyekolahkan anak-anak mereka supaya berpikir lebih baik, bertingkah laku sesuai dengan agama serta yang paling utama sekolah dapat mengantarkan anak-anak mereka ke pintu gerbang kesuksesan sesuai dengan profesinya.

Faktor sangat mendominasi kondisi ekonomi masyarakat tentu saja berbeda, tidak semua keluarga memiliki kemampuan ekonomi yang memadai dan mampu memenuhi segala kebutuhan anggota keluarga. Salah satu pengaruh yang ditimbulkan oleh kondisi ekonomi seperti ini adalah orang tua tidak sanggup menyekolahkan anaknya pada jenjang yang lebih tinggi walaupun mereka mampu membiayainya di tingkat sekolah dasar.

Krisis ekonomi yang berkepanjangan menjadikan orangtua anak menuntut anak untuk bekerja demi membantu penghasilan orang tua. Akibatnya, anak - anak tidak bersekolah, buta huruf atau drop out di pendidikan dasar. "Selanjutnya mereka bekerja sebagai pembantu rumah tangga, buruh tani dan kebun, buruh serabutan dan ada yang terlibat prostitusi.

Temuan selanjutnya, anak bekerja dalam berbagai pekerjaan mulai dari pemulung, penjual koran, petugas parkir liar, pemilah sampah TPA, buruh petani dan perkebunan, pengemis / pengamen ditemui disetiap persimpangan jalan, pembantu rumah tangga, pelayan toko dan restoran, pendorong gerobak di pelabuhan dan pasar, penjual platik di pasar, kuli angkut, penyelam mutiara dan ikan teripang di laut tanpa peralatan, kernet, nelayan, buruh bangunan, penjual sayur, dan menyemir.

Pola pikir orang tua juga berpengaruh terhadap melanjutkan atau putus sekolahnya anak-anak mereka. Karena masih banyak orang tua yang memiliki pola pikir bahwa pendidikan itu dianggap kurang penting istilahnya “sakola kamahal-mahal moal jauh jiga kolotna”, kemudian juga setengah memaksa anaknya membantu mencari nafkah. Karena biasanya, jika anak-anak ini sudah terbiasa memegang uang dalam arti menghasilkan pendapatan (uang), maka mereka akan menganggap pendidikan itu tak penting. Bahkan secara kultural, juga ada orangtua yang memang tidak ingin anaknya melanjutkan sekolah karena alasan tertentu.

Oleh karena itu, selain menerapkan kebijakan pendidikan murah dan gratis, termasuk menyediakan fasilitas pendidikan yang terjangkau dan menyediakan tenaga pengajar yang siap sedia untuk terjun berjuang ditempatkan di mana saja (bukan yang hanya mengejar status PNS kemudian numpuk di daerah perkotaan). Maka agenda lain yang tak kalah pentingnya, bahkan termasuk sangat penting dalam upaya menekan angka anak putus sekolah adalah mengubah pola pikir yang menganggap enteng pendidikan, dan menanamkan pola pikir baru kepada para orang tua bahwa pendidikan itu penting.

Padahal dalam permasalahan ini Pemerintah tidak diam dan berpangku tangan , “Pengamat pendidikan dari Universitas Negeri Jakarta, Prof Soedijarto”, mengatakan, dengan adanya kata ”wajib” dalam Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun, seharusnya segala hambatan anak menuntaskan pendidikan dasar bisa diatasi.

”Segala kebutuhan untuk bersekolah harus dipenuhi. Anak usia sekolah yang putus pendidikan dasar dicari dan dikembalikan ke lembaga pendidikan untuk menuntaskan pendidikan dasarnya,” ujarnya. Persoalannya, memang seberapa jauh pemerintah menjalankan tugas melindungi warga negara secara aktif, termasuk mencerdaskan dan memenuhi hak pendidikannya.

”Jika memang menjadi prioritas dan ada komitmen, pembiayaan seharusnya tidak menjadi masalah. Semua unsur dan sektor pemerintahan seharusnya sepakat menempatkan pendidikan sebagai program utama. Di negara kesejahteraan, pendidikan merupakan prioritas.

Seperti halnya di Jawa Barat yang diungkapkan Kepala Dinas Pendidikan (Disdik) Jabar, Wahyudin Zarkasyi dalam sambutan yang dibacakan salah seorang stafnya pada acara Pemberian Beasiswa Pikiran Rakyat Tahun Ajaran/Akademik 2009-2010 di Hotel Golden Flower, Kota Bandung, Kamis (29/10). Jumlah anak putus sekolah di Jawa Barat saat ini masih tinggi. Penyebabnya adalah masalah klasik, biaya. Padahal dana pendidikan yang dikeluarkan pemerintah saat ini sudah mencapai 20 persen dari anggaran yang ada. Anggaran 20 persen dan sekolah gratis ternyata belum bisa menjadi solusi utama untuk memudahkan akses semua kalangan terhadap pendidikan dasar.

Kalau sudah begini “SIAPAKAH YANG BERTANGGUNG JAWAB?”
Lalu, ke mana dan kepada siapakah anak-anak ini bisa mengadukan nasibnya? Beruntung bagi mereka yang orang tuanya masih bisa tiap hari banting tulang mencari nafkah di sektor informal dengan gaji yang hanya cukup untuk makan dan bisa untuk menanamkan modal usaha untuk kelangsungan hidupnya. Disisi lain bagi mereka yang orangtuanya terlalu sibuk dengan urusan mereka, sehingga si anak tidak menemukan kasih sayang dirumah. Sedangkan bagaimana nasib yang kurang beruntung, yang pendapatan hanya cukup untuk makan?” Sesuai bunyi UUD 1945 pasal 34 ayat 1” “Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara”, maka pemerintah memang menjadi pihak yang paling bertanggung jawab dalam menangani nasib anak - anak Indonesia yang terlantar.

Tangggung jawab pemerintah sajakah? Tentu saja tidak. Nasib bocah-bocah kurang beruntung itu adalah tanggung jawab kita semua, bahkan bisa jadi mereka yang membuat betah dengan kehidupan seperti itu.

Foto-foto ini sebagai contoh dari artikel di atas yang saya ambil di salah satu jalan di Kota Bandung yang sering dipake aksess keluar masuknya Kota Bandung.

0 komentar more...

0 komentar

Posting Komentar

Looking for something?

Use the form below to search the site:

Still not finding what you're looking for? Drop a comment on a post or contact us so we can take care of it!